Prahara Di Talaga Manggung

            Dari hikayat yang diperoleh penulis di kawasan Situ Sangiang terdapat mitologi kuat masyarakat setempat bahwa tempat tersebut sebagai bekas petilasan keraton Kerajaan Talaga.           
            Ketika itu Prabu Darma Suci 2  (Sunan Talaga Manggung) memiliki dua orang putra yakni Raden Panglurah dan Nyai Mas Simbar Kancana. Putra sulungnya Raden Panglurah sejak kecil senang menuntut ilmu sambil bertapa.        
            Konon Raden Panglurah ingin mengikuti jejak eyangnya, Sunan Ponggang Sang Romahyang yang berilmu tinggi sakti mandraguna. Maka dengan berat hati kedua orang tuanya dan adik tercinta Nyai Mas Simbar kencana melepas Raden Panglurah untuk bertapa selama 7 tahun 7 bulan dan 7 hari di Gunung Bitung. Sebuah pegunungan  yang menjadi batas wilayah Kabupaten Majalengka dan Ciamis atau sebelah sebelah selatan kota Talaga.     
          Sepeninggal Raden Panglurah bertapa, di Kerajaan Talaga Manggung datanglah seorang pemuda gagah perkasa berasal dari Kerajaan Sriwijaya. Kotaraja Palembang. Pemuda ini datang menghadap paduka Raja Sunan Talaga Manggung ingin menjadi abdi keraton.   
           Bahasanya sulit  untuk dimengerti rakyat  dan “narendra”keraton, tetapi dengan kemurahan sang raja diterimalah ia mengabdi di keraton. Dan lama kelamaan ia bisa berbahasa Sunda (sunda kuno istilah sekarang). Karena taat dan patuh kepada raja, maka diberi nama Palembang Gunung. Kemudian diangkat menjadi patih kerajaan mendampingi Sunan Talaga Manggung.       
          Karena cakap dan kepintarannya dalam mengelola kerajaan, kondisi sosial - ekonomi Kerajaan Talaga Manggung kian maju dan berkembang pesat. Raja makin simpati hingga diserahinya putri kerajaan  Nyai Mas Simbar Kancana. Resmilah Palembang Gunung menjadi mantu raja terhormat.
          Mereka dibuatkan Istana Kepatihan untuk tempat tinggalnya di bukit Walang Suji (kini berupa bukit keramat di Desa Kagok Kecamatan Banjaran).
           Suatu ketika timbul pikiran - pikiran jelek berkecamuk dalam benak Palembang Gunung untuk menjadi raja menggantikan mertuanya.        
           Munculah pikiran keji untuk membunuh Sunan Talaga Manggung berikut putra sulungynya Raden Panglurah. Guna memenuhi ambisinya, Palembang Gunung berhasil mempengaruhi Citra Singa dengan berbagai janji manis untuk membuka rahasia utama Raja Talaga Manggung.       
           Raja Talaga Manggung sudah kesohor tidak dapat dibunuh oleh senjata apapun, karena tidak memiliki puser atau udel layaknya manusia normal. Sedangkan Talaga Manggung hanya dapat dibunuh oleh senjata andalannya, Cis Wesi Kuning. Sementara orang yang dapat mengambil pusaka pribadi  raja tersebut hanyalah Ki Centang Barang, ponggawa kesayangan raja.        
        Setelah diperdaya dengan akal busuk, Ki Centang Barang panut untuk membunuh sang raja, sambil menunggu Ki Centang Barang menunggu membunuh Sunan Talaga Manggung, Patih Palembang Gunung pergi ke Gunung Bitung bersama Citra Singa dengan maksud membunuh Raden Panglurah yang sedang bertapa. Alhasil, diperoleh sepasang baju Raden Panglurah yang sudah robek dan tidak karuan bentuknya. Pulanglah Palembang Gunung ke Keraton Kepatihan.
          Diceritakannya, bahwa Raden Panglurah telah tewas dimakan binatang buas sewaktu sedang bertapa di Gunung Bitung.           
         Hari itu tanggal 14 Sapar Hari Senin penghabisan saat Sunan Talaga Manggung sedang berjalan-jalan di sekitar taman usai melakukan puja semedi didekati Ki Centang Barang dengan cis wesi kuning di tangannya.
          Dengan keris itu ditusuklah Sunan Talaga Manggung hingga terkapar di tanah. Namun sebelum ajal menjemput Sunan Talaga Manggung mengutuk Ki Centang Barang, dimana dia akan mati sendiri dengan cara memakan daging tubuhnya.
                Benar juga. Selepas membunuh raja, Ki Centang segera lari keluar menuju Istana Kepatihan di Walang Suji guna memberi tahu Palembang Gunung, bahwa dirinya telah berhasil membunuh Sunan Talaga Manggung.           
          Di sepanjang jalan dalam pelariannya itu, Ki Centang Barang tiba - tiba menjerit histeris karena tidak disadari mulutnya menggigit seluruh badannya sendiri lalu menggelepar kesakitan disaksikan ratusan pasang mata.
          Dari mulutnya juga keluar teriakan – teriakan pengakuan telah membunuh Sunan talaga manggung.  Dan ramai – ramai rakyat Kerajaan Talaga Manggung ingin menyaksikan rajanya telah tewas akibat tusukan cis wesi kuning oleh Ki Centang Barang.
               Namun apa dikata, raja hilang, keraton hilang, begitu juga penghuni keraton ikut hilang. Dan yang dijumpai hanya sebuah situ (talaga) yang sangat luas yang sekarang dikenal nama Situ Sangiang. Lalu cis wesi kuning menurut hikayat masyarakat Sangiang menghilang berubah wujud menjadi pohon rotan.

           Pohon Rotan ini sampai sekarang sering dijadikan ajimat oleh masyarakat yang berjiarah ke makam  - makam keramat di sekitar Sangiang.         
            Kemudian kabar menghilangnya kedua orang tua Nyai Mas Dewi Simbar Kancana serta menghilangnya keraton sampai juga ke teling Simbar Kancana. Bukan main marahnya ketika tahu bahwa kematian ayahnya karena perbuatan suaminya itu. Maka timbul dalam hati Simbar Kancana untuk balas dendam.
            Dan akhirnya niat itu kesampaian juga, Palembang Gunung tewas disayat Konde Emas miliknya. Lalu kabar itu disampaikan kepada rakyat Talaga dan diminta untuk segera menguburkan Palembang Gunung. Hanya sampai sekarang makamnya belum jelas di sebelah mana.     
           Tentang kematian Prabu Darma Suci, Sunan Talaga Manggung dan hikayatnya tercatat dalam Candra Sangkala Talaga sekitar 1297, akan tetapi chandra sangkala itu belum diketahui pasti oleh siapa dan dalam bentuk apa, belum jelas.        
          Sekitar tiga tahun lalu, penulis sempat 2 kali  berkunjung ke bekas tempat Keraton Kepatihan. Letaknya sebelah barat daya Desa Kagok, sekarang hanyalah berupa onggokan tanah merah yang dikelilingi rumpun bambu.
           Tempat ini berkeramat dan sangat angker. Dan orang tidak berani berbuat gegabah datang ke tempat ini, apalagi di lokasi Puncak Suji, dimana pernah berdirinya Keraton Kepatihan. Yang berani congkak, resiko siap mengancam.

(bersambung....)